Ketua elPDKP Ikuti FGD Amnesti Massal Solusi Atau Masalah Baru

Catatan Atas Pemberian Amnesti Dalam Keppres Nomor 17 tahun 2025

LANGITBABEL.COM- Ketua Lembaga Pusat Dukungan Kebijakan Publik Bangka Belitung (elPDKP Babel) John Ganesha Siahaan,S.H menghadiri Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta, Selasa 16 Desember 2025 kemarin.

Kegiatan yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Indonesia Judicial Research Society mengambil tema “Catatan Atas Pemberian Amnesti Dalam Keppres Nomor 17 tahun 2025”

Kegiatan ini berawal dari momentum 1 Agustus 2025 dimana Presiden Prabowo Subianto menandatangani Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pemberian Amnesti.

Keppres ini memberikan amnesti kepada 1.178 orang, jauh lebih sedikit dibandingkan rencana awal pemerintah yang menargetkan 44.000 narapidana.

Secara substantif, amnesti memiliki konsekuensi besar terhadap sistem hukum pidana.Pasal 4 UU Darurat 11/1954 menegaskan bahwa amnesti menihilkan seluruh akibat hukum pidana terhadap penerimanya.

Artinya, pemberian amnesti bukan sekadar kebijakan politik, tetapi juga intervensi langsung terhadap proses hukum yang sedang berjalan maupun yang sudah berkekuatan hukum tetap.

“Terkait dengan amnesti ini kita tahu ini bagian dari kenegaraan, yang kemudian secara hukum presiden sebagai pemenang mandat eksekutif tertinggi punya beberapa kewenangan untuk kemudian mengintervensi berbagai hal termasuk kasus kasus pidana  termasuk memberikan amnesti,” kata Kiki Marini Situmorang dari LBH Masyarakat.

Dilanjutkan Marini, alasan alasan yang digaungkan pemerintah dalam pemberian amnesti ini untuk membatalkan legalisme hukum yang tidak memberikan rasa keadilan mengatasi masalah,overcrowding lapas dan menjaga keutuhan bangsa.

“Amnesti ini bukan yang baru di Indonesia kami catatan pada zaman Presiden Soekarno tahun 1961 pernah memberikan amnesti kepada orang -orang yang dianggap sebagai pemberontak , pada zaman orde baru tahun 1977 juga diberikan kepada anggota gerakan Fretilin di Timor Leste , Presiden BJ Habibi  juga memberikan amnesti kepada tahanan politik dan berlanjut pada era Presiden Gusdur tahun 1999 dan pada tahun 2025 juga memberikan kepada pejuang GAM di Aceh,” kata Kiki.

Deputy Director of Center for Detention Studies Gatot Goei (CDS) dalam diskusi mengatakan amnesti ini kewenangan di Kementerian Hukum , sementara di Dirjen Imipas hanya melaksanakan apa yang diminta oleh Kementerian Hukum.

“Seperti proses melakukan assessment, dan mencari siapa yang berhak mendapat amnesti itu secara teknis dilakukan oleh dirjen PAS,” ujar Gatot Goei.

Gatot Goei memaparkan terkait Keppres 17 tahun 2025 , rata rata hukum dari 1.178 orang itu mungkin beberapa orang saja yang hukumannya empat tahun .

“Saya tidak tahu ini kasusnya pembunuhan atau tidak, tapi kalau kita lihat hukumannya rata rata dibawah lima tahun bahkan dibawah empat tahun , kecil disitu ada kasus pembunuhan tapi ini harus di cek dulu,karena data tadi ada tiga belas kasus pembunuhan dan apa ada kasus pembunuhan yang dihukum dibawah empat tahun?,”lanjut Gatot Goei.

Terkait isu overcrowding , apakah amnesti ini berdampak pada overcrowding? tapi sebetulnya ini tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap over kapasitas/ overcrowding.

“Salah satunya penyebab overcrowding banyaknya pengguna narkotika yang dipenjara atau over kriminalisasi, di tahun 2020 awal pandemi covid kami sudah melakukan penelitian apakah overcrowding ini salah satunya permasalahan narkotika dan kriminalisasi , data dari 2016 hingga 2020 ditemukan data ternyata arus masuk tahanan setiap bulan kedalam rutan/ lapas  sebanyak 14.572 sedangkan arus keluarnya itu 11.473  dari data itu kita lihat sudah over kurang lebih 3500 setiap bulannya,”beber Gatot Goei.

Dilanjutkan Goei, pihaknya memetakan apa yang bisa dilakukan untuk menurunkan overcrowding, kami coba simulasikan jika pengguna narkotika  setiap tahunnya kita keluarkan dari rutan/lapas kira kira ada penurunan signifikan terhadap overcrowding ini.

“Ternyata kalau kalau pidana pendek tidak dikeluarkan, asimilasi tidak diberikan maka di 2021 itu overcrowding 93 persen , meningkat sampai tahun 2025 sampai 136 persen , itu prediksi kita tahun 2021-2025 lalu pengguna narkotika di tahun 2021 kita keluarkan lalu kemudian ditambah pidana pendek kita keluarkan, asimilasi integrasi kita berikan maka paling akhir di 2021 hanya terjadi overcrowding 59 persen sampai dengan di tahun 2025 itu prediksinya 82 persen itu prediksi kami,”lanjutnya.

Suasana FGD Catatan Atas Pemberian Amnesti Dalam Keppres Nomor 17 tahun 2025

Untuk diketahui hari ini, data penghuni lapas ditanggal 15 Desember 2025 mencapai 277.353 orang kapasitas rutan /lapas 149.975 kamar , presentasenya 84,93 persen over kapasitasnya.

“Jadi kurang lebih sama dengan hasil riset prediksi kita 82 persen dan hari ini 85 persen over kapasitas,”lanjutnya.

Menanggapi hal itu, ketua elPDKP  John Ganesha Siahaan,S.H mengatakan perkara tindak pidana narkotika paling banyak masuk ke elPDKP.

“Saya ingin memberi tahu bahwa Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan bahwa sekarang cukup banyak yang barang bukti gram 10 gram diputus dibawah 4 tahun kami selama 3 tahun menangani perkara narkotika hingga 600 perkara cukup menemukan kegelian seperti yang disampaikan peserta diskusi tadi, seperti dipaksa,tidak dilakukan test urine dipaksa pasal 112 , padahal dirinya adalah pecandu,”kata John Ganesha.

Dikatakan John Ganesha , lembaga elPDKP amnesti ini membingungkan karna amnesti ini katanya politik kasus-kasus hukumnya  tatapi permasalahannya pecandu (narkotika-red)

“Diera Presiden Jokowi judulnya grasi massal sekarang mau amnesti massal , menurut saya kita bisa menggunakan amnesti tapi menurut saya ketika negara tidak bisa menjamin pembinaan di lapas yang maksimal (overcrowding) saya pernah tanya dengan ketua Komnas HAM dia bilang itu sudah penyiksaan itu artinya sudah menjadi masalah negara dan harus diberikan amnesti sebagai bentuk koreksi negara disaat situasi politik dan keuangan negara yang lagi tidak mampu lanjut,”John Ganesha.

Selain itu,KUHP Baru yang akan berlaku pada Januari 2026 ini juga turut disampaikan advokat John Ganesha

“Apa bila ada hukum baru maka hukum yang paling menguntungkan diterapkan, maka menurut saya amnesti juga bisa digunakan sehingga kita tidak dibingungkan dengan membuat amnesti yang seharusnya menggunakan grasi yang lebih lengkap seperti adanya litmas (penelitian masyarakat)

Dilanjutkan John yang menjadi permasalahan pemberian amnesti ini tanpa pertimbangan DPR , masyarakat juga tidak dilibatkan.

“Kalau menurut saya amnesti massal itu dua tempatnya ,yang pertama lahirnya KUHP baru sebagai alasan bagi presiden melihat politik hukum pidana dan negara harus melihat kondisi lapas yang overcrowding sebagai konflik politik kepentingan negara untuk menyelesaikannya agar jangan ada perasaan disparitas,”tutup John Ganesha.

Exit mobile version