LANGITBABEL.COM—-Pengadilan Negeri Jakarta Utara kembali menggelar sidang peninjauan kembali yang dimohonkan Ita bin Sumantri, Kamis (20/11/2025)
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Iman Budi Putra Noor, S.H., didampingi hakim anggota Yulia Marhaena, S.H., dan Wahyuni Prasetyaningsih, S.H.,M.H., dengan Panitera Pengganti Yuliana Rahmawati, S.H.,
Kuasa Hukum Ita bin Sumantri dari elPDKP Bangka Belitung, Muhammad Irwan, S.H., menyatakan bahwa agenda sidang hari ini seharusnya mendengarkan tanggapan jaksa penuntut umum, dan penandatangan Berita Acara Permohonan Peninjauan Kembali.
“Agenda tersebut ternyata tidak dapat dilaksanakan. Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara tidak hadir dalam acara persidangan. Sehingga, Majelis Hakim menunda persidangan untuk satu kali lagi, yakni pada Kamis 27 November 2025, dengan catatan relaas akan dikirimkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Apabila Jaksa Penuntut Umum hadir, maka akan dilaksanakan penandatangan Berita Acara Peninjauan Kembali,” beber Muhammad Irwan.
Ita bin Sumantri mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali terhadap perkara No. 184/Pid.Sus/2025/PN JKT.UTR, karena putusan yang dijatuhkan pada tanggal 27 Mei 2025 tersebut dianggap tidak memiliki rasa keadilan dan mengakibatkan disparitas pemidanaan terhadap pengguna narkoba.
Ita bin Sumantri dijatuhi pidana 6 tahun penjara karena dianggap bersalah melakukan tindak pidana menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Setelah mencermati putusan dan pertimbangan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Ita bin Sumantri, ternyata pertimbangan hukum Majelis Hakim memperlihatkan adanya kekhilafan Hakim dan kekeliruan yang nyata dalam mengkonstatir dan mengkualifikasir fakta dan peristiwa yang mengakibatkan Pemohon PK, Ita bin Sumantri dijatuhi hukuman yang berat,”lanjutnya.
Putusan perkara No. 184/Pid.Sus/2025/PN JKT.UTR ini memperlihatkan pertimbangan Majelis Hakim kurang lengkap dasar pertimbangan hukumnya dengan mengabaikan adanya sejumlah Yurisprudensi tetap dan Pedoman penanganan perkara tindak pidana narkotika yang dirumuskan dalam SEMA No. 4 Tahun 2010.
Yurisprudensi dan SEMA No. 4 Tahun 2010 yang seharusnya dijadikan Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan merupakan sumber hukum yang relevan dalam mengentaskan “problem yudisial” yang timbul dalam penanganan perkara narkotika.
SEMA No. 4 Tahun 2010 pada dasarnya menekankan bahwa pada saat seorang pelaku ditangkap, namun tidak sedang mengkonsumsi narkotika, tidak dilakukan uji urine, analisa dan jumlah berat barang bukti yang menjadi objek perkara terbilang sedikit, maka secara kasusistik terhadap pelaku tersebut sebenarnya memenuhi kualifikasi untuk ditempatkan pada Lembaga rehabilitasi medis dan sosial pecandu dan penyalahguna narkotika.
Wahyu Wagiman, S.H.,M.H., kuasa hukum Ita bin Sumantri, menambahkan, pertimbangan Majelis Hakim yang menjadi dasar menghukum Pemohon dengan Pidana Penjara selama 8 (Delapan) tahun subsidair 6 bulan adalah terlalu tinggi menimbulkan Disparitas Hukuman.
“Ketidakadilan dan perlakuan yang berbeda terhadap Pemohon dengan Terpidana dalam perkara yang lain dengan barang bukti Narkotika Golongan I jenis Shabu yang beratnya lebih besar (banyak), namun dijatuhkan hukuman pidana penjara lebih ringan,” terang Wahyu Wagiman
Permasalahan ketidakadilan ini menjadi permasalahan hukum tersendiri bagi Pemohon PK, Ita bin Sumantri. Majelis Hakim dianggap mengabaikan pertimbangan hakim – hakim yang terdahulu dan lebih tinggi yang sebelumnya telah mengadili perkara tindak pidana narkotika dengan barang bukti narkotika golongan I jenis shabu yang beratnya lebih besar (banyak) daripada jumlah barang bukti narkotika jenis sabu dalam perkara yang diajukan Pemohon PK, namun dijatuhi dengan hukuman pidana penjara lebih ringan.
“Pemohon PK, Ita bin Sumantri terlibat dalam perkara penyalahgunaan narkotika disebabkan kondisi psikis dan fisik yang telah ketergantungan akan narkotika jenis sabu,”lanjut Wahyu Wagiman.
Pemohon PK seharusnya mendapatkan perlakuan khusus untuk mendapatkan pengobatan dan rehabilitasi sebagai pecandu narkotika, bukan malah menempatkannya dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan. Keadaan seperti ini, menurut KUHP BARU, akan memberikan pengaruh yang buruk bagi Pemohon PK.
“Advokat-advokat dari elPDKP memberikan pendampingan dan bantuan hukum kepada Ita bin Sumantri didasari oleh keprihatinan atas kondisi fisik dan psikologisnya. Pada saat mendampingi dan berjumpa dengan Ita bin Sumantri, Tim Penasihat Hukum dapat melihat dengan nyata wujud dari raut wajah dan kegelisahan yang tidak dapat disembunyikan Ita bin Sumantri sebagai Pemohon PK,” kata Wahyu Wagiman.
Karena itu, dalam rangka mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan guna mendapatkan keadilan yang setimpal, elPDKP sebagai Organisasi Bantuan Hukum mendampingi Ita bin Sumantri untuk mengajukan Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali atas Putusan Pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan hal-hal tersebut, Muhammad Irwan, S.H., meminta agar Mahkamah Agung Republik Indonesia “Menerima dan Mengabulkan seluruh alasan-alasan hukum Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Terdakwa ITA BIN SUMANTRI, dan Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 184/Pid.Sus/2025/PN JKT.UTR Tanggal 27 Mei 2025 yang menghukum Pemohon PK Ita bin Sumantri dengan pidana penjara 8 tahun”.
