Opini  

Izin Usaha Pertambangan: Antara legalitas,kepentingan ekonomi dan keadilan lingkungan

OPINI OLEH : LUSIYANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG

LUSIYANA MAHASISWI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG

Pertambangan merupakan salah satu sektor strategis bagi pembangunan nasional indonesia.Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batu Bara ( Minerba).

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

Pengertian ini menegaskan bahwa pertambangan bukan hanya soal eksploitasi sumber daya alam , tetapi meliputi seluruh proses dari awal hingga pemulihan lahan pasca kegiatan.

Dalam konteks hukum,Izin usaha pertambangan(IUP) merupakan instrumen legal yang di atur dalam UU minerba dan peraturan turunannya seperti PP No. 39 tahun 2025 Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

IUP secara normatif bertujuan memastikan bahwa kegiatan pertambangan berjalan secara tertib,aman dan bertanggung jawab. Prosedurnya mewajibkan adanya AMDAL sebagimana di atur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH).

Namun, legalitas formal ini tidak selalu secara langsung berdampak pada keadilan sosial atau keberlanjutan lingkungan. Banyak perusahaan dengan izin resmi masih melakukan praktik yang merusak lingkungan karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Dari sudut pandang ekonomi, pemerintah sebagai penggertak pembangunan dengan meningkatkan pendapatan,lapangan kerja,dan investasi di wilayah tersebut.Namun,manfaat ekonomi ini tidak selalu dirasakan secara merata.

Masyarakat sekitar wilayah pertambangan seringkali paling terdampak oleh polusi udara, pencemaran air ,dan hilangnya lahan produktif.

Hal ini terjadi meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup Pasal 69 , secara eksplisit melarang pencemaran udara dan mewajibkan semua badan usaha untuk menerapkan pengendalian emisi.

Perbedaan ini menunjukan bahwa kepentingan ekonomi sering kali lebih mengutamakan dari pada hak masyarakat dan perlindungan lingkungan.

Disisi lain Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur kewajiban perusahaan pertambangan untuk melakukan reklamasi dan pemulihan lingkungan,pasal 99 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, tentang perubahan atas UU No.4 Tahun 2009,mewajibkan perusahaan pertambangan untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pasca tambang. Kewajiban ini di perkuat dengan kontribusi kepada dana jaminan reklamasi sebelum memulai operasi penambangan.

Namun, dalam praktiknya banyak perusahaan gagal memenuhi kewajiban ini meninggalkan kerusakan lingkungan,termasuk aktivitas pertambangan yang mengancam masyarakat.

Hal ini menunjukkan bahwa legalitas izin tidak serta merta menjamin kepatuhan tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.

Oleh karena itu, IUP tidak boleh dipandang hanya sebagai persetujuan administratif, melainkan sebagai instrumen untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan kepentingan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

Transparansi dalam proses perizinan, partisipasi masyarakat dalam konsultasi publik, dan penegakan sanksi atas pelanggaran menjadi kunci dalam menciptakan tata kelola pertambangan yang berkeadilan.

Pada akhirnya,negara berkewajiban memastikan bahwa kebijkan pertambangan berjalan sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat(4) Undang-Undang dasar 1945,yang menegaskan bahwa perekonomian nasional harus di selenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Selain itu,undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan setiap kegiatan usaha termasuk pertambangan untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan (Pasal 2 dan Pasal 67).

Di sisi lain, UU No. 4 Tahun 2009 jo. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba mewajibkan pelaku usaha pertambangan melaksanakan reklamasi dan pemulihan lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab atas dampak operasionalnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *