Blog  

Guru Besar HTN Unpad : Revisi UU TNI Harus Dibatalkan

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Susi Dwi Harijanti

LANGITBABEL.COM–Guru Besar Hukum Tata negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (HTN FH Unpad), Prof Susi Harijanti, mengatakan pembahasan revisi UU TNI merupakan bentuk abusive law making, praktik autocratic legalism.

Praktik penyusunan UU seperti itu menurut Prof Susi harus dilawan karena pada dasarnya konstitusi mengatur kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan politisi.

“Pembahasan RUU TNI ini harus dilawan, harus dibatalkan,” katanya dalam diskusi bertema Menolak Kejahatan Legislasi dalam Pembahasan RUU TNI: Inkonstitusional, Melanggar HAM dan Kebebasan Akademik, belum lama ini.

Prof Susi mencatat beberapa alasan utama revisi UU TNI harus ditolak. Pertama, prosedur penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) tidak menunjukkan democratic law making, tapi sebaliknya abusive law making. Penyusunan RUU TNI ini absen asas keperluan atau kebutuhan, hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.

Kedua, konsideran RUU TNI sebagaimana tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disodorkan pemerintah. Konsideran itu menyebut TNI dibangun dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik negara mengacu pada demokrasi, supremasi sipil, HAM, hukum nasional dan internasional. Tapi faktanya berbagai prinsip itu tidak ada dalam batang tubuh RUU TNI.

Misalnya, Pasal 7 RUU TNI mengatur tugas perbantuan yang dapat dilakukan TNI. Antara lain operasi militer selain perang (OMSP) dijalankan atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara, diatur lebih lanjut lewat Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).

Proses penyusunan dan pembahasan RUU TNI tidak menunjukan democratic law making. Batang tubuh RUU TNI tidak sesuai konsideran menimbang yang menyebut demokrasi, supremasi sipil, HAM, hukum nasional dan internasional.

Pertanyaan hukumnya, apakah tepat PP mengatur politik hukum dan dinyatakan sebagai keputusan politik negara?. Sejauh mana tugas perbantuan itu tidak mengganggu fungsi lembaga lain dan bagaimana cara mengontrolnya?.

“Apa yang terjadi di Aceh dan Papua? Semua dibungkus tugas perbantuan. Tugas perbantuan TNI ini punya potensi merusak sendi-sendi bernegara dan pemerintahan,” ujar Prof Susi.

Prof Susi menegaskan dari aspek HTN, pengaturan OMSP melalui PP dan Perpres memunculkan ketidakpastian. Dalam hal apa harus diatur PP atau Perpres?. RUU TNI memberi diskresi luar biasa kepada pemerintah atau Presiden untuk mengatur dasar hukum tapi bukan berdasarkan kepentingan rakyat.

Pasal 47 RUU TNI dalam hal militer menduduki jabatan sipil tidak mencerminkan supremasi sipil seperti yang disebut konsideran menimbang. Pasal 53 yang menaikan batas usia pensiun tidak jelas alasannya. Bahkan untuk perwira bintang 4 batas usia pensiunnya berdasarkan kebijakan Presiden, dan perwira pada jabatan fungsional bisa sampai usia 65 tahun.

“Kenapa perwira bintang 4 pensiun berdasarkan kebijakan Presiden?. Persamaan dan kepastian hukumnya di mana?,” urainya.

Secara tegas Prof Susi menyebut semua keinginan untuk kembali menghidupkan dwi fungsi TNI harus ditolak. “Masyarakat harus memperkuat pemerintahan sipil yang demokratis,” usulnya.

 

Sumber: HukumOnline.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *