Amicus Curiae Dalam Perkara Permohonan Peninjauan Kembali 2315 PK/PID.SUS/2025

Siaran Pers Pandita, Upacarika dan Pembina Moral Umat Buddha Lampung

Siaran Pers Pendeta Buddha
Para Pemuka Agama Buddha bersama Penasihat Hukum Elpdkp di Mahkamah Agung Republik Indonesia

Siaran Pers

Pandita, Upacarika (Calon Pandita) dan Pembina Moral Umat Buddha Lampung Mengajukann Amicus Curiae Dalam Perkara Permohonan Peninjauan Kembali No.: 2315 PK/PID.SUS/2025 atasnama Terpidana MATI Eddy Alias Ahui anak dari Atin

 Bandarlampung, 23 September 2025

 10 (sepuluh) orang tokoh agama Buddha Lampung yang terdiri dari Pandita, Upacarika (Calon Pandita), pengurus vihara dan guru yang aktif dalam organisasi MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) mengajukan amicus curiae dalam Perkara Permohonan Peninjauan Kembali (PK) No.: 2315 PK/PID.SUS/2025 atasnama Terpidana MATI Eddy Alias Ahui anak dari Atin.

Proses pengajuan amicus curiae dilakukan pada Senin, 22 September 2025 dengan didampingi Ketua Umum elPDKP Bangka Belitung, John Ganesha, Siahaan, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., dan Muhamad Irwan, S.H., selaku pengacara Pemohon PK Eddy Alias Ahui.

10 (sepuluh) orang tokoh agama Buddha Lampung mengharapkan agar Ketua Mahkamah Agung, khususnya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara PK atasnama Terpidana MATI Eddy Alias Ahui anak dari Atin dapat memberikan hukuman yang lebih ringan, selain pidana mati.

Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, 10 (sepuluh) orang tokoh agama Buddha Lampung juga mengharapkan agar Presiden Prabowo dan Jaksa Agung dapat mengubah hukuman Pemohon PK Eddy alias Ahui dengan hukuman yang lebih manusiawi dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh welas asih dan pemaaf. Terlebih sebagai umat Buddha, selama menjalani masa hukumannya Eddy alias Ahui anak dari Atin telah menjalani karmanya di Lembaga Pemasyarakaran sebagai dampak dari perbuatan yang telah dilakukan.

Memberikan hukuman yang lebih ringan kepada Eddy alias Ahui anak dari Atin telah selaras dengan ajaran welas asih Buddha yang menginginkan agar semua makhluk terbebas dari penderitaan, yang mendorong tindakan kasih sayang dan kebaikan tanpa pamrih untuk kesejahteraan dunia. Dengan diberikannya hukuman yang lebih ringan, sebagai umat manusia dan warga negara Indonesia, Eddy alias Ahui akan merasakan dan menikmati kebahagiaan bersama sebagai hasil dari budi baik kita semua, sebagaimana disabdakan Sang Buddha:

 “Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan jalan tidak menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia akan memperoleh kebahagiaan. (Dhammapada, syiar 132).

Permohonan 10 (sepuluh) orang tokoh agama Buddha tersebut dilandasi oleh pertimbangan bahwa Pemohon Peninjauan Kembali Eddy alias Ahui anak dari Atin telah melakukan perbuatan yang dianggap bertentangan dengan hukum dan ajaran agama, yakni mengedarkan narkotika dan obat-obatan terlarang, sehingga yang bersangkutan dijatuhi hukuman mati, namun terdapat alasan yang kuat untuk memberikan kesempatan kedua bagi Eddy alias Ahui anak dari Atin untuk merefleksikan perjalanan hidupnya dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.

Keluarga, anak-anak dan istri Eddy alias Ahui anak dari Atin merupakan faktor yang harus dipertimbangkan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara PK atasnama Terpidana MATI Eddy Alias Ahui anak dari Atin. Anak-anak dan istri Pemohon PK berhak mendapatkan dan menikmati kehidupan yang layak yang dapat menumbuhkan sikap kasih sayang, bertanggungjawab dan tangguh dalam menjalani dharma-nya sebagai manusia. Sehingga, keberadaan dan kehadiran Eddy alias Ahui sebagai Bapak dan Suami sangatlah penting untuk mendukung tumbuh kembang anak-anak dan isterinya.

Memberikan nafas kehidupan kepada Eddy alias Ahui anak dari Atin dapat dimaknai sebagai memberikan arah, nafas dan penopang kehidupan bagi keluarga, anak-anak dan istri Eddy alias Ahui. Proses penghukuman yang sudah dan sedang dijalani Eddy alias Ahui di lembaga pemasyarakatan seharusnya sudah memberikan efek jera terhadap Eddy alias Ahui. Tidak perlu lagi didera dengan pidana mati.

Setelah menyerahkan amicus curiae kepada Ketua Mahkamah Agung, acara dilanjutkan dengan membaca Paritta dan mengheningkan cipta. Ritual ini dilakukan untuk memberikan dukungan moral kepada Mahkamah Agung, Presiden Prabowo dan segenap bangsa Indonesia agar senantiasa mendapatkan perlindungan, ketenangan batin, senantiasa berada dalam kedamaian.

10 (sepuluh) orang tokoh agama Buddha yang mengajukan amicus curiae (amici):

  1. Ngadikun Dhammayano, Pandita Muda MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia);
  2. Candra Gunawan, B.Sc. Pandita Madya MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia);
  3. Hartati Hariono, Pandita Muda MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia);
  4. Thomas Kresnadani SE. Pandita Muda MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia);
  5. Sarjito Virya Dhammo, Pandita Muda MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia);
  6. Franky Herryanto, Upacarika (Calon Pandita) MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia);
  7. Supriyadi, S.Ag., Upacarika (Calon Pandita) MAGABUDHI (Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia);
  8. Ika Raisty Dhamayanty, S.Pd.B. guru / pendidik / pembina yang membina moral dan spiritual anak-anak, remaja, dan pelajar di Bandar Lampung;
  9. Merifa, T., Pengurus Vihara Suvannadipa;
  10. Marlina, Pengurus Vihara Suvannadipa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *